Senin, 23 Maret 2015

Batik Tulis di Grobogan, Jateng.


Senin, 16 Maret 2015

Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa Indonesia.[2] Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.[3] Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)[4] dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.[5] Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[6] Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[7] sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.[9]

 

Sejarah

Masa lalu sebagai bahasa Melayu Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[butuh rujukan] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman

Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."[15]
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[16]

Peristiwa-peristiwa penting

  • Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
  • Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
  • Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
  • Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
  • Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
  • Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
  • Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
  • Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
  • Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
  • Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
  • Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

Penyempurnaan ejaan

Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
  1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
  2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
  3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
  4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.

Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
  1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972)
Malaysia
(pra-1972)
Sejak 1972
tj ch c
dj j j
ch kh kh
nj ny ny
sj sh sy
j y y
oe* u u

Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah digantikan dengan "u".

Daftar kata serapan dalam bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari bahasa lain.
Asal bahasa Jumlah kata
Belanda 3.280 kata
Inggris 1.610 kata
Arab 1.495 kata
Sanskerta 677 kata
Tionghoa 290 kata
Portugis 131 kata
Tamil 83 kata
Parsi 63 kata
Hindi 7 kata

Sumber: Buku berjudul "Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).

Adapun jumlah kata-kata yang diserap dari bahasa Nusantara dalam KBBI Edisi Keempat ditunjukkan di dalam daftar berikut:[18]
Asal bahasa Jumlah kata
Jawa 1109 kata
Minangkabau 929 kata
Sunda 223 kata
Madura 221 kata
Bali 153 kata
Aceh 112 kata
Banjar 100 kata

Penggolongan

Indonesia termasuk anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue, bahasa Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur laut Sumatra

Persebaran geografis

Bahasa Indonesia dituturkan di seluruh Indonesia, walaupun lebih banyak digunakan di area perkotaan (seperti di Jabodetabek dengan dialek Betawi serta logat Betawi).
Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi, dan seringkali terselip dialek dan logat di daerah bahasa Indonesia itu dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah kadang bahasa daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.

Kedudukan resmi

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:
  1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
  2. Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
  1. Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
  2. Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Fonologi

Bahasa Indonesia mempunyai 26 fonem yaitu 21 huruf mati dan 5 huruf hidup. Di samping itu sistem tata bahasanya sederhana, di mana:
Vokal

Depan Madya Belakang
Tertutup
Tengah e ə o
Hampir Terbuka (ɛ)
(ɔ)
Terbuka a

Bahasa Indonesia juga mempunyai diftong /ai/, /au/, dan /oi/. Namun, di dalam suku kata tertutup seperti air kedua vokal tidak diucapkan sebagai diftong
Konsonan

Bibir Gigi Langit2
keras
Langit2
lunak
Celah
suara
Sengau m n ɲ ŋ  
Letup p b t d c ɟ k g ʔ
Desis (f) s (z) (ç) (x) h
Getar/Sisi   l r      
Hampiran w   j    
  • Vokal di dalam tanda kurung adalah alofon sedangkan konsonan di dalam tanda kurung adalah fonem pinjaman dan hanya muncul di dalam kata serapan.
  • /k/, /p/, dan /t/ tidak diaspirasikan
  • /t/ dan /d/ adalah konsonan gigi bukan konsonan rongga gigi seperti di dalam bahasa Inggris.
  • /k/ pada akhir suku kata menjadi konsonan letup celah suara
  • Penekanan ditempatkan pada suku kata kedua dari terakhir dari kata akar. Namun apabila suku kata ini mengandung pepet maka penekanan pindah ke suku kata terakhir.

Sistem Penulisan

Huruf besar Huruf kecil IPA Huruf besar Huruf kecil IPA
A a /ɑː/ N n /n/
B b /b/ O o /ɔ, o/
C c /tʃ/ P p /p/
D d /d/ Q q /q/
E e /e, ɛ, ə/ R r /r/
F f /f/ S s /s/
G g /ɡ/ T t /t/
H h /h/ U u /u/
I i /i/ V v /v, ʋ/
J j /dʒ/ W w /w/
K k /k/ X x /ks/
L l /l/ Y y /j/
M m /m/ Z z /z/

Tata bahasa

Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai contohnya. Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya. Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum".
Dengan tata bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang pertama kali belajar bahasa Indonesia.

Awalan, akhiran, dan sisipan

Bahasa Indonesia mempunyai banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.
Awalan Fungsi (pembentuk) Perubahan bentuk Kaitan
ber- verba be-; bel- per-
ter- verba; adjektiva te-; tel- ke-
meng- verba (aktif) me-; men-; mem-; meny- di-; pe-; ku-; kau;
di- verba (pasif)
meng-
ke- nomina; numeralia; verba (percakapan)
ter-
per- verba; nomina pe-; pel- ber-
peng- nomina pe-; pen-; pem-; peny- meng-
se- klitika; adverbia

ku-, kau- verba (aktif)
me-

Dialek dan ragam bahasa

Lihat pula: Varian-varian bahasa Melayu
Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.
Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:
  1. Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
  2. Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
  3. Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
  4. Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:
  1. ragam undang-undang
  2. ragam jurnalistik
  3. ragam ilmiah
  4. ragam sastra
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:
  1. ragam lisan, terdiri dari:
    1. ragam percakapan
    2. ragam pidato
    3. ragam kuliah
    4. ragam panggung
  2. ragam tulis, terdiri dari:
    1. ragam teknis
    2. ragam undang-undang
    3. ragam catatan
    4. ragam surat-menyurat
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
  1. komunikasi resmi
  2. wacana teknis
  3. pembicaraan di depan khalayak ramai
  4. pembicaraan dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bukan baku.

Bahasa Jawa

Bahasa Jawa (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮ) adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa daerah lain seperti Banten (terutama Serang, Cilegon, dan Tangerang) serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang meliputi Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon).
Penyebaran Bahasa Jawa Migrasi suku Jawa membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah, bahkan di luar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah Lampung (61,9%), Sumatera Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%), Aceh(15,87%) yang dikenal sebagai Aneuk Jawoe. Khusus masyarakat Jawa di Sumatera Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli. Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.

Bahasa Jawa halus dan kasar

Jawa bagian tengah yang mempunyai bahasa jawa kasar dan halus juga, bahasa jawa halus kebanyakan berada di kota kota disekitar ibukota jawa tengah ini contohnya di solo dan di ibukotanya sendiri yaitu di semarang , di DI Yogyakarta juga memakai bahasa yang halus, sedangkan untuk yang bahasa jawa kasar berada di kota daerah perbatasan antara jawa barat dan jawa tengah biasanya di kota daerah sekitar pantai utara dan pantai selatan. Untuk wilayah jawa timur bahasa jawanya kebanyakan sama dengan bahasa yang ada di jawa tengah ,tapi di daerah barat jawa timur cara bicara didaerah ini agak lantang atau tegas, bahasa ini terletak berdekatan dengan daerah Madura .Dan ada lagi daerah Bali yang bahasanya terdengar seperti bahasa jawa tapi jauh sekali berbeda juga bahasa Nusa tenggara yang terdengar seperti bahasa bali.

Tata Bahasa

Tingkat tutur dalam bahasa Jawa dibagi menjadi tiga yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya dan tingkat tutur karma. Atau secara umum dibagi menjadi dua saja yaitu tingkat tutur ngoko dan tingkat tutur karma.

Aksara Jawa ꧊ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦗꦮ꧊

Aksara jawa berbeda dengan huruf Latin yang kita gunakan sekarang ini untuk menulis. Aksara jawa terdiri dari :
  1. Aksara Carakan / ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦕꦫꦏꦤ꧀. Aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata ato biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu : ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga ;
  2. Aksara Pasangan / ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦥꦱꦔꦤ꧀. Bentuk mati (huruf) dari aksara inti, yaitu : h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, dh, j, y, ny, m, g, b, th, ng ; pasangan
  3. Aksara Swara / ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦱ꧀ꦮꦫ. Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama orang yang dihormati yang diawali dengan huruf hidup, yaitu : A, I, U, E, O
  4. Aksara Rekan / ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦉꦏꦤ꧀. Untuk penulisan huruf-huruf yang berasal dari serapan bahasa asing, yaitu : kh, f, dz, gh, z
  5. Aksara Murda / ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦩꦸꦂꦢ. Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama orang yang dihormati, yaitu : Na, Ka, Ta, Sa, Pa, Nya, Ga, Ba
  6. Aksara Wilangan / ꦲꦏ꧀ꦱꦫ​ꦮꦶꦭꦔꦤ꧀. Untuk penulisan bilangan dalam bahasa Jawa, yaitu angka 1 s/d 10 dalam aksara Jawa.
  7. Tanda Baca (Sandangan / ꦱꦤ꧀ꦢꦔꦤ꧀). Merupakan tanda baca yang biasa digunakan, huruf hidup serta huruf mati yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari, yaitu tanda : koma, titik, awal kamimat, dll. huruf : i, o, u, e. huruf mati : _r, _ng, _ra, _re, dll

Tembung ꧊ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ꧊

Tembung dalam bahasa Indonesia artinya kata. Silah silahing tembung atau jenis kata (Gramar) dalam Bahasa Jawa ada 10 macam:
  1. Tembung aran / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦲꦫꦤ꧀ (kata benda). contoh: meja, kursi.
  2. Tembung Kriya / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦏꦿꦶꦪ꧊ (kata kerja) Contoh: turu, adus.
  3. Tembung ganti / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦒꦤ꧀ꦠꦶ ( kata ganti). Contoh: aku, kowe, bapak.
  4. Tembung Wilangan / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦮꦶꦭꦔꦤ꧀ (kata bilangan). Contoh: enem, telu, papat.
  5. Tembung Kahanan / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦏꦲꦤꦤ꧀ (kata sifat). Contoh: ayu, kuru, seneng.
  6. Tembung Katrangan / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦏꦠꦿꦔꦤ꧀ (kata keterangan). Contoh: ngisor, lor, tengah.
  7. Tembung Pangguwuh / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦥꦔ꧀ꦒꦸꦮꦸꦃ (kata seru). Contoh: wah, aduh, ah, eh.
  8. Tembung Sandhangan / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦱꦟ꧀ꦝꦔꦤ꧀ (kata sandang). Contoh: Sang, Hyang, Raden.
  9. Tembung Panyambung / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦥꦚꦩ꧀ꦧꦸꦁ (kata sambung). Contoh: lan, mulane, sarta.
  10. Tembung Pangarep / ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ​ꦥꦔꦉꦥ꧀ (kata Depan). Contoh: saka, ing, sing.

Ater ater Seselan Panambang ꧊ꦲꦠꦼꦂꦲꦠꦼꦂꦱꦼꦱꦼꦭꦤ꧀ꦥꦤꦩ꧀ꦧꦁ꧊

Ater ater (Awalan),Seselan (Sisipan),Panambang (Akhiran).

Ater ater ꧊ꦲꦠꦼꦂꦲꦠꦼꦂ꧊

Ater ater Hanuswara ꧊ꦲꦠꦼꦂꦲꦠꦼꦂꦲꦤꦸꦱ꧀ꦮꦫ꧊
  • m [m+bathik=mbathik]
  • n [n+tulis=nulis]
  • ng [ng+kethok=ngethok]
  • ny [ny+cuwil=nyuwil]
Ater ater Tripurasa ꧊ꦲꦠꦼꦂꦲꦠꦼꦂꦠꦿꦶꦥꦸꦫꦰ꧊
  • dak [dak+pangan=dakpangak]ko [ko+jupuk=kojupuk]
  • di [di+goreng=digoreng]
Ater ater liya ꧊ꦲꦠꦼꦂꦲꦠꦼꦂꦭꦶꦪ꧊
  • a [a+lungguh=alungguh]
  • ma [ma+lumpat=malumpat]
  • ka [ka+gawa=kagawa]
  • ke [ke+sandhung=kesandhung]
  • sa [sa+gegem=sagegem]
  • pa [pa+lilah=palilah]
  • pi [pi+tutur=pitutur]
  • pra [pra+tandha=pratandha]
  • tar [tar+buka=tarbuka]
  • kuma [kuma+wani=kumawani]
  • kami [kami+tuwa=kamituwa]
  • kapi [kapi+temen=kapitemen]

Seselan ꧊ꦱꦼꦱꦼꦭꦤ꧀

  • um [..um..+guyu=gumuyu]
  • in [..in..+carita=cinarita]
  • el [..el..+siwer=seliwer]
  • er [..er..+canthel=cranthel]

Panambang ꧊ꦥꦤꦩ꧀ꦧꦁ꧊

  • i [kandh+i=kandhani]
  • ake [jupuk+ake=jupukake]
  • ne [teka+ne=tekane]
  • e [omah+e=omahe]
  • ane [jaluk+ane=jalukane]
  • ke [kethok+ke=kethokke]
  • a [dudut+a=duduta]
  • na [gawa+na=gawakna]
  • ana [weneh+ana=wenehana]
  • en [lepeh+en=lepehen]
  • ku [buku+ku=bukuku]
  • mu [klambi+mu=klambimu]
  • e [omah+e=omahe]

Homonim

Homonim yaiku tembung-tembung kata sama ucapannya sama penulisannya tapi beda arti karena asal kata beda. Contoh:
  • Kula rade pandung panjenengan punika sinten? (pangling)
  • Rehning punika kathah pandung, mila kedah ngantos-atos. (maling)
  • Mengko yen ibu duka kepriye, mbak? (nesu)
  • Bocah ditakoni kok mung duka bae, sebel aku! (embuh)

Antonim

Antonim / Tembung kosok balen yaiku tembung kata yang memiliki arti berkebalikan dengan yang lain. Kata kata antonim antara lain: padhang-peteng, bungah-susah, gedhe-cilik, beja-cilaka, kasar-alus, lan sapiturute. Contoh:
  • Bab sugih mlarat iku sejatine jatahe dhewe-dhewe.
  • Kali ing Kalimantan kuwi tiga rendheng banyune ajeg gedhe.

Sinonim

Sinonim (nunggal misah) yaiku rong tembung dua kata atau lebih yang bentuk penulisannya beda, arti sama atau hampir sama, arti yang sama persis itu jarang. Contoh:
  • Bocah kuwi senenge randha kemul.
  • Bocah kuwi senenge tempe goreng diwenehi glepung.
  • Tawangmangu iku hawane pancen adhem banget.
  • Tawangmangu iku hawane pancen atis banget.

Homograf

Homograf yaiku tembung-tembung kata yang penulisannya beda artinya beda. Contoh:
  • Tiyang punika asring ngagem busana cemeng. cemeng = ireng
  • Aku yen sowan budhe arep nyuwun cemeng loro. cemeng = anak kucing
  • Yen duwe meri kudu dikandhangake. meri = anak bebek
  • Kowe ora perlu meri karo adhimu. meri = ewa, iri

Jejer(J)/ ꧊ꦗꦺꦗꦺꦂ꧊ Wasesa(W) ꧊ꦮꦱꦺꦰ꧊ Lisan(L) ꧊ꦭꦶꦱꦤ꧀

Dalam bahasa indonesia kita mengenal adanya struktur atau susun kalimat, seperti subjek, predikat dan objek. Dalam bahasa jawa pun juga memiliki hal yang sama akan tetatpi bernama lain,
  • Jejer ꧊ꦗꦺꦗꦺꦂ꧊ = subjek
  • Wasesa ꧊ꦮꦱꦺꦰ꧊ = predikat
  • Lisan ꧊ꦭꦶꦱꦤ꧀ = objek
seperti halnya dalam bahasa indonesia, jejer dikenai pekerjaan dengan pola sama seperti bahasa Indonesia tidak seperti english yang dibolak balik.
Contoh kalimatnya: - aku mangan (aku makan) aku = jejer mangan = wasesa
- aku mangan sego (aku makan nasi) aku = jejer mangan = wasesa sego = objek
Untuk bagian kalimat seperti keteran (katrangan) sama saja seperti bahasa Indonesia.

Ukara ꧊ꦲꦸꦏꦫ꧊

Silah silahing ukara (Jenis-jenis Kalimat dlm Bhs. Jawa)
  1. Ukara Kandha / ꦲꦸꦏꦫ​ꦏꦟ꧀ꦝ (Kalimat Langsung).Tuladha : Ibu ngendika 'Kowe kudu sekolah' / ꦲꦶꦧꦸꦔꦼꦤ꧀ꦢꦶꦏ꧌ꦏꦺꦴꦮꦺꦏꦸꦢꦸꦱꦼꦏꦺꦴꦭꦃ꧍
  2. Ukara Crita / ꦲꦸꦏꦫ​ꦕꦿꦶꦡ (Kalimat Cerita). Tuladha : Ngendikane Ibu yen sregep sekolah mesthi pinter / ꦔꦼꦤ꧀ꦢꦶꦏꦤꦺꦲꦶꦧꦸꦪꦺꦤ꧀ꦰꦽꦒꦼꦥ꧀ꦰꦼꦏꦺꦴꦭꦃꦩꦼꦰ꧀ꦛꦶꦥꦶꦤ꧀ꦠꦼꦂ.
  3. Ukara Tanduk / ꦲꦸꦏꦫ​ꦠꦤ꧀ꦢꦸꦏ꧀ (Kalimat Aktif). Tuladha : Bapak tindak kantor / ꦧꦥꦏ꧀ꦠꦶꦤ꧀ꦢꦏ꧀ꦏꦤ꧀ꦠꦺꦴꦂ
  4. Ukara Tanggap / ꦲꦸꦏꦫ​ꦠꦔ꧀ꦒꦥ꧀ (Kalimat Pasif). Tuladha : Sepedane dicet abang / ꦱꦼꦥꦺꦢꦤꦺꦢꦶꦕꦺꦠ꧀ꦲꦧꦁ
  5. Ukara Pakon / ꦲꦸꦏꦫ​ꦥꦏꦺꦴꦤ꧀ (Kalimat Perintah). Tuladha : Jupukna sepedaku neng omahe Paklik / ꦗꦸꦥꦸꦏ꧀ꦤꦱꦼꦥꦺꦢꦏꦸꦤꦶꦁꦲꦺꦴꦩꦃꦲꦺꦥꦏ꧀ꦭꦶꦏ꧀
  6. Ukara Panjaluk / ꦲꦸꦏꦫ​ꦥꦚ꧀ꦗꦭꦸꦏ꧀ (kalimat Permohonan). Tuladha : Tulung njupukna buku kuwi / ꦠꦸꦭꦸꦁꦗꦸꦥꦸꦏ꧀ꦤꦧꦸꦏꦸꦏꦸꦮꦶ

Peribahasa Jawa ꧊ꦥꦿꦶꦧꦱꦗꦮ꧊

Peribahasa Jawa merupakan suatu bentuk kearifan lokal budaya Jawa yang filosofis. Di dalam peribahasa, terdapat makna mendalam dari sebuah kalimat atau frasa, tidak sekadar dapat dipahami secara harfiah.
Contoh Paribasan (peribahasa) dan pepatah Jawa
  • nyolong pethek = nggak cocok dgn apa ygdi harapkan.
  • kepara kepere = tdk adil (berbagi).
  • criwis cawis= banyak bicara tp cekatan dlm bekerja.
  • keplok ora tombok = merasakan kesenangan tanpa keluar biaya.
  • yitna yuwana,lena kena = yg hati2 akanselamat,yg ceroboh akan celaka.
  • busuk ketekuk,pinter keblinger = yg pintar dan yg bodoh sama2 celaka.
  • jalukan ora wewehan = mau minta tp tak mau memberi.
  • welas tanpa alis= karena saking dermawannya jd sengsara sendiri (derma yg berlebihan tanpa mengukur kemampuan sendiri).
  • kerot tanpa untu = kemauan banyak tapi tdk punya kekuatan.
  • anakpolah bapa kepradah = orang tua yg slalu menuruti keinginan sang anak.
  • Nabok nyilih tangan = menyuruh orang untuk mencelakai orang laen.
  • suduk gunting tatu loro =mendapat kesedihan rangkap.
  • ora ganja ora unus = orangnya jelek,kelakuannya jg jelek.
  • nututi layangan pedhot =berusaha mengembalikan situasi yg sudah semrawut.
  • idu di dilatmaneh = mengingkari janji sendiri.
  • ngubak ubak banyu bening = membuat keonaran di tmpt yg damai.
  • mban cindhe,mban siladan = pilih kasih (nggak adil).
  • dudu berase di tempurake = memberi komentar tp di luar permasalan yg sedang di bahas.
  • adol lenga kari busike = yg membagi justru gak kebagian jatah.
  • ora mambu enthong irus= tidak kelihatan kalau bersaudara.

Purwakanthi ꧊ꦥꦸꦂꦮꦏꦟ꧀ꦛꦶ꧊ (syair - pantun - kata bersajak)

Purwakanthi merupakan alunan bunyi yang sama pada beberapa kata dalam sastra Jawa dan Sunda. Terdapat dua macam purwakanthi yaitu purwakanthi swara dan purwakanthi sastra. Purwakanthi swara adalah persamaan bunyi, sementara purwakanthi sastra adalah persamaan huruf.
Pitutur dan ungkapan-ungkapan Jawa umumnya disampaikan secara ringkas, dengan padanan kata bersanjak yang pas sehingga terkesan indah sekaligus mudah diingat.

Purwakanthi guru swara ꧊ꦥꦸꦂꦮꦏꦟ꧀ꦛꦶꦒꦸꦫꦸꦱ꧀ꦮꦫ꧊

  • Ana awan, ana pangan
  • Ngalah nanging oleh
  • Sing salah kudu seleh
  • Becik ketitik ala ketara
  • Sing weweh bakal pikoleh
  • Adigang adigung adiguna
  • Inggih-inggih ora kepanggih
  • Ciri wanci lelai ginawa mati
  • Desa mawa cara negara mawa tata
  • Witing tresna jalaran seka kulina
  • Giri lungsi, jalma tan kena ingina
  • Yen menang, aja njur sewenang wenang
  • Ana bungah, ana susah iku wis lumrah
  • Sing gelem ngalah, bakal luhur wekasane
  • Yen krasa enak, aja njur lali anak, lali bojo, lali kanca

Purwakanthi guru sastra ꧊ꦥꦸꦂꦮꦏꦟ꧀ꦛꦶꦒꦸꦫꦸꦱꦱ꧀ꦠꦿ꧊

  • Tata titi titig tatag, tanggung tertib
  • Aja dhemen memada, dhateng saphadhaning dumadi
  • Taberi nastiti lan ngati-ati, mesthi bakal dadi
  • Wong jejodohan kudu ngelingi : babat,bibit,bobot,bebet
  • Ruruh,rereh,ririh ing wewarihipun, mrih reseping para muyarsi
  • Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karya, tut wuri handayani
  • Tarti tata-tata, ate metu turut ratan, diutus tuku tahu tempe dhuwite kertas telung atus
  • Tindak tanduk lan tutur kang kalantur, tamtu katula-tula katali, bakal kacatur,katutuh, kapatuh, pan dadi awon
  • Sluman slumun slamet, salamun nyemplung kali plung, slulup slelep-slelep oleh slepi isi klobot, Njumbul bul klambine teles bles
  • Kala kula kelas kalih, kula kilak kalo kalih kuli-kuli kula, kalo kula kéli, kali kilén kula, kalo kula kampul-kampul, kula kelap kelip kala-kala keling-keling

Tembang ꧊ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦁ꧊, Gending dan Karawitan ꧊ꦒꦼꦤ꧀ꦢꦶꦁꦭꦤ꧀ꦏꦫꦮꦶꦠꦤ꧀

Karawitan.jpg
Dua sinden asing, Hiromikano dari Jepang dan Megan dari Amerika Serikat Hibur Warga Kendal.
Syair gending Jawa selalu terucap tembang-tembang yang di alunkan pesinden/seniwati maupun penggerong pada sebuah musik karawitan. Syair ini berbahasa Jawa dan bahasa Kawi yang unik dan mengandung pesan atau nasihat untuk hidup yang damai sejahtera di dunia ini. Syair-syair tiap gending berbeda-beda, mulai dair gending gedhe, ladrang, ketawang maupun tembang dolanan. Masing-masing mengandung makna dan tersendiri yang disampaikan penciptanya lewat syair tersebut.

Tembang gedhe ꧊ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦁꦒꦼꦝꦺ꧊

Tembang gedhe jenisnya:
  • Lebdajiwa
  • Kusumawicitra
  • Sudiradraka
  • Basanta
  • Manggalagita
  • Sukarini
  • Nagabanda
  • Kusumastuti
  • Merakng
  • Tebukasol
  • Banjaransari
  • Tepikawuri
  • Pamularsih
  • Bremarakrasa
  • Madayanti
  • Sudirwicitra
  • Madurenta
  • Kuswarini
  • Sarapada
  • Candrakusuma

Tembang tengahan ꧊ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦁꦠꦼꦔꦃꦲꦤ꧀

Tembang tengahan jenisnya :
  • Balabak
  • Wirangrong
  • Juru Demung
  • Kuswaraga
  • Palugon
  • Pangajabsih
  • Pranasmara
  • Sardulakawekas
  • Sarimulat
  • Rarabentrok

Tembang Macapat ꧊ꦠꦼꦩ꧀ꦧꦁꦩꦕꦥꦠ꧀

Tembang Macapat juga sering disebut sekar Macapat, sekar Alit, atau sekar Dhagelan. Karsana H. Saputra dalam bukunya yang berjudul Sekar Macapat menyebutkan, macapat adalah suatu bentuk puisi Jawa yang menggunakan bahasa Jawa baru, diikat oleh persajakan yang meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Jadi Sekar macapat atau tembang macapat dapat diartikan sebagai salah satu bentuk sekar (tembang) yang menggunakan aturan guru wilangan dan guru lagu yang sudah ditentukan. Masing-masing jenis tembang macapat memiliki jumlah gatra yang berbeda-beda dan untuk membedakan jenis sekar macapat antara yang satu dengan lainnya dapat dilihat dari jumlah gatra, guru lagu, dan guru wilangan.
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, karena pada prakteknya tidak semua tembang macapat bisa dinyanyikan empat-empat suku kata. [1]
Tembang macapat ada 11 ( sebelas ) :
  1. Maskumambang
  2. Pocung
  3. Gambuh
  4. Megatruh
  5. Mijil
  6. Kinanthi
  7. Asmaradana
  8. Durma
  9. Pangkur
  10. Sinom
  11. Dhandhanggula
Tembang macapat itu terdiri dari Guru Gatra, Guru wilangan, guru lagu, dan watak. Guru gatra adalah jumlah baris dalam tembang macapat. Guru wilangan adalah jumlah suku kata dalam tembang macapat. Guru lagu adalah jatuhnya suara diakhir baris tembang macapat.

Serat ꧊ꦱꦼꦫꦠ꧀

  1. Serat berisi tentang ajaran atau Piwulang dan pitutur kearah kebaikan dan kebajikan.
  2. Didalam serat berisi tuntunan agung yang dapat dijadikan seabagai pedoman dan suri tauladan bagi manusia.
  3. Serat menganduing makna moralitas yang berkenaan dengan dengan etika hidup.
Contoh Serat
  • Serat Sastra Ganding diciptakan oleh Kanjeng Sultan Agung.
  • Serat Wulangreh merupakan karya sastra berbentuk tembang hasil buah karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV.
  • Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra Jawa baru yang secara formal dinyatakan ditulis oleh Magkunegara IV.
  • Serat Wulang Estri merupakan karya sastra kelanjutan dari ajaran Paku Buwana IV yang ditujukan bagi putrinya, yaitu berupa ajaran berumah tangga.
  • Serat Wedaraga merupakan salah satu karya sastra berbentuk tembang macapat karangan R. Ng. Ranggawarsita.
  • Serat Nitisastra karya Raden Ngabehi Yasadipura II.

Babad ꧊ꦧꦧꦢ꧀

Babad Giyanti
  1. Babad berisi tentang sejarah lokal yang berhubungan dengan nama tempat, daerah, kerajaan maupun tokoh besar (historis)
  2. Babad bersifat lokal yang ditulis dengan cara pandang tradisional, sehingga sering dibumbui dengan berbagai hal yang bersifat pralogis atau bahkan bersifat fiktif dan simbolik.
  3. Babad bersifat istana centris karena pada umumnya ditulis pada lingkungan kraton dengan raja selaku penguasa daerah yang bersangkutan , atau lingkungn bangsawan yang lebih kecil.
  4. Pada umumnya babad ditulis dengan tujuan: (a) mencatat segala peristiwa, kejadian, atau pengalaman yang pernah terjadi pada masa lampau. (b) untuk menjadi teladan yang baik agar dapat diambil manfaatnya. (c) untuk memperkuat sakti raja.(Sedyawati, ed. 2001: 267)
  5. Babad bersifat subjektif karena kebanyakan penulisnya berasal dari latar belakang, kecenderunga, dan pendiriannya yang ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya pada sebagai manusia sosial budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988)
  6. Babad bersifat fragmentatif artinya bahwa fakta-fakta yang ditampilkan dalam babad tidaklah lengkap.
  7. Babad menekankan pada pengagungan leluhur maupun raja, yang menekankan pada pengukuhan legitimasi sebagai catatan sejarah bagi kepentingan penguasa dan keturunanya.
  8. Babad bersifat sugestif artinya bahwa babad dapat mempengaruhi pandangan seseorang.
Contoh Babad
  • Babad Giyanti
  • Babad kartasura
  • Babad Sengkala
  • Babad Surapati
  • Babad Damarwulan
  • Babad demak

Suluk ꧊ꦱꦸꦭꦸꦏ꧀

Pada tahun 1898, pengangkatan Ratu Wilhelmina di Belanda cukup menyita perhatian masyarakat. Sebuah buku bahkan dicetak di Semarang untuk memperingati kejadian tersebut. Dengan bahasa dan aksara Jawa, halaman depan buku tersebut berbunyi: "Sri Makutho, merayakan Keluarga Kerajaan kami dan Pengangkatan Ratu Nederland Wilhelmina"
  1. Suluk kental dengan ajaran agama islam.
  2. Suluk sering kali dihubungkan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang kemudian dimaknai dengn pengembaraan atau perjalanan dalam rangk mencari makna hidup.
  3. Suluk sering dianalogikan dengan kata ‘yen sinusul muluk’ yang berarti kalau dikejar semakin membumbung tinggi. Maksutnya, keilmuan suluk, bila semakin dipikirkan akan semakin jauh untuk dijangkau pikiran atau logika awam.
  4. Permasalahan yang sering diangkat dalam suluk berhubungan erat dengan hal-hal ghaib yakni hal-hal supranatural yang yang hubungannya dengan Tuhan dan kehidupan manusia.
  5. Suluk memiliki struktur yang tidak mudah difahami maknanya atau relatif membingungkan, terutama bagi yang tidak bisa menggelutinya.
  6. Sastra suluk umumnya ditulis dalam bentuk tembang (macapat) namun juga ada yang berbentuk prosa.
Contoh suluk:
  • Suluk Seh Takawardi
  • Suluk Malang Sumirang
  • Suluk Wujil

Sastra Jawa ꧊ꦱꦱ꧀ꦠꦿꦗꦮ꧊

Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Sastra Jawa dibagi dalam empat masa:

Sastra Jawa Kuno ꧊ꦱꦱ꧀ꦠꦿꦗꦮꦏꦸꦤ꧊

Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.

Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa

  1. Candakarana
  2. Sang Hyang Kamahayanikan
  3. Brahmandapurana
  4. Agastyaparwa
  5. Uttarakanda
  6. Adiparwa
  7. Sabhaparwa
  8. Wirataparwa, 996
  9. Udyogaparwa
  10. Bhismaparwa
  11. Asramawasanaparwa
  12. Mosalaparwa
  13. Prasthanikaparwa
  14. Swargarohanaparwa
  15. Kunjarakarna

Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)

  1. Kakawin Tertua Jawa, 856
  2. Kakawin Ramayana ~ 870
  3. Kakawin Arjunawiwaha, Empu Kanwa, ~ 1030
  4. Kakawin Kresnayana
  5. Kakawin Sumanasantaka
  6. Kakawin Smaradahana
  7. Kakawin Bhomakawya
  8. Kakawin Bharatayuddha, Empu Sedah dan Empu Panuluh, 1157
  9. Kakawin Hariwangsa
  10. Kakawin Gatotkacasraya
  11. Kakawin Wrettasañcaya
  12. Kakawin Wrettayana
  13. Kakawin Brahmandapurana
  14. Kakawin Kunjarakarna, Empu Dusun
  15. Kakawin Nagarakretagama, Empu Prapanca, 1365
  16. Kakawin Arjunawijaya, Empu Tantular
  17. Kakawin Sutasoma, Empu Tantular
  18. Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
  19. Kakawin Parthayajna
  20. Kakawin Nitisastra
  21. Kakawin Nirarthaprakreta
  22. Kakawin Dharmasunya
  23. Kakawin Harisraya
  24. Kakawin Banawa Sekar Tanakung

Petikan dari Kakawin Sutasoma

Lontar Sutasoma dari Jawa Tengah dalam aksara Buda.
Di bawah ini diberikan beberapa contoh petikan dari kakawin ini bersama dengan terjemahannya. Yang diberikan contohnya adalah manggala, penutup dan sebuah petikan penting.
Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Empu Tantular pada abad ke-14.
Manggala
Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang merupakan intisari kasunyatan.Jika beliau menampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana Brahma, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.
Manggala Terjemahan
1 a. Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama sirânindya ring rat wiçes.a 1 a. Sri Bajrajñana, manifestasi sempurna Kasunyatan adalah yang utama di dunia.
1 b. lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya jaya-jayângken mahâswargaloka 1 b. Nikmat dan murni teguh di hati, menguasai semuanya bagai kahyangan agung.
1 c. ekacchattrêng çarîrânghuripi sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a 1 c. Ia adalah titisan Pelindung tunggal yang menganugrahi kehidupan kepada tri buwana – bumi, langit dan sorga – seru sekalian alam.
1 d. sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri wijilira n sangka ring Boddhacitta 1 d. Bagaikan terang bulan dan matahari sifat yang keluar dari batin orang yang telah sadar.
2 a. Singgih yan siddhayogîçwara wekasira sang sâtmya lâwan bhat.âra 2 a. Ia yang diterangi, yang manunggal dengan Tuhan, memang benar-benar Raja kaum Yogi yang berhasil.
2 b. Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap mus.t.ining dharmatattwa 2 b. Perwujudan segala ilmu Kasunyatan baik kasar ataupun halus, diajikan dalam sebuah doa dan puja yang khusyuk.
2 c. Sangsipta n pèt wulik ring hati sira sekung ing yoga lâwan samâdhi 2 c. Singkatnya, mari mencari-Nya dengan betul dalam hati, didukung dengan yoga dan samadi penuh.
2 d. Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-riwaning nirmalâcintyarûpa 2 d. Persis bagaikan seseorang yang merana hatinya merasakan rasa kemurnian Yang Tak Bisa Dibayangkan.
3 a. Ndah yêka n mangkana ng çânti kineñep i tutur sang huwus siddhayogi 3 a. Maka itulah ketentraman hati yang dituju seorang yogi sempurna.
3 b. Pûjan ring jñâna çuddhâprimita çaran.âning miket langwa-langwan 3 b. Biarkan aku memuja dengan kemurnian dan kebaktian tak tertara sebagai sarana untuk menulis syair indah.
3 c. Dûrâ ngwang siddhakawyângitung ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra 3 c. Mustahil aku akan berhasil menulis kakawin sebab tiada tahu akan tatacara bersastra.
3 d. Nghing kêwran déning ambek raga-ragan i manah sang kawîrâja çobha 3 d. Namun, sungguh malu dan terganggu oleh pikiran akan sebuah penyair sempurna di ibukota.
4 a. Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya 4 a. Pertama dari semua cerita yang saya gubah diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha.
4 b. Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga sirang sarwadharmânggaraks.a 4 b. Dahulukala ketika dwapara-, treta- dan kretayuga, beliau merupakan perwujudan segala bentuk dharma.
4 c. Tan lèn hyang Brahma Wis.n.wîçwara sira matemah bhûpati martyaloka 4 c. Tiada lain sang hyang Brahma, Wisnu dan Siwa. Semuanya menjadi raja-raja di Mercapada (dunia fana).
4 d. Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati manurun matyana ng kâla murkha 4 d. Dan sekarang pada masa Kaliyuga, Sri Jinapati turun di sini untuk menghancurkan kejahatan dan keburukan.
Penutup
Pupuh penutup adalah pupuh nomor 148.

Epilog Terjemahan
1 a. Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket 1 a. Maka inilah akhir dari sebuah cerita indah dan digubah dari kisah sang Buddha.
1 b. Dé sang kawy aparab mpu Tantular amarn.a kakawin alangö 1 b. Oleh seorang penyair bernama Empu Tantular yang menggubah kakawin indah.
1 c. Khyâtîng rat Purus.âdaçânta pangaranya katuturakena 1 c. Termasyhur di dunia dengan nama Purusadasanta (pasifikasi raja Purusada).
1 d. Dîrghâyuh sira sang rumengwa tuwi sang mamaca manulisa 1 d. Semoga semua yang mendengarkan, membaca dan menyalin akan panjang umurnya.
2 a. Bhras.t.a ng durjana çûnyakâya kumeter mawedi giri-girin 2 a. Hancur lebur para durjana, tak berdaya, gemetar, takut karena ngeri.
2 b. Dé çrî râjasa raja bhûpati sang angd.iri ratu ri Jawa 2 b. Oleh Sri Rajasa yang bertakhta di Jawa.
2 c. Çuddhâmbek sang aséwa tan salah ulah sawarahira tinut 2 c. Para abdinya berhati murni dan melaksanakan segala perintahnya tanpa salah.
2 d. Sök wîrâdhika mêwwu yêka magawé resaning ari teka 2 d. Sungguh banyak para pahlawan unggul, jumlahnya ada ribuan yang memberikan rasa takut kepada para musuh.
3 a. Ramya ng sâgara parwatêki sakapunpunan i sira lengeng 3 a. Indahlah laut dan gunung di bawah penguasaannya.
3 b. Mwang tang râjya ri Wilwatikta pakarâjyanira n anupama 3 b. Dan ibukota Wilwatikta (= Majapahit) sungguh indah di luar bayangan.
3 c. Kîrn.êkang kawi gîta lambing atuhânwam umarek i haji 3 c. Banyaklah jumlah para penyair, tua dan muda yang menggubah nyanyian dan kakawin yang menghadap sang ratu.
3 d. Lwir sang hyang çaçi rakwa pûrn.a pangapusnira n anuluhi rat 3 d. Bagaikan Dewa Candra kekuasaannya menyinari dunia.
4 a. Bhéda mwang damel I nghulun kadi patangga n umiber i lemah 4 a. Berbeda dengan karyaku bagaikan gajah yang terbang di atas tanah.
4 b. Ndan dûra n mad.anêka pan wwang atimûd.ha kumawih alangö 4 b. Mustahillah menyamai karena orang bodoh yang seolah-olah menulis kakawin indah.
4 c. Lwir bhrân.tâgati dharma ring kawi turung wruh ing aji sakathâ 4 c. Seperti seseorang yang bingung mengenai kewajiban seorang penyair tidak mengenal peraturan bersyair.
4 d. Nghing sang çrî Ran.amanggalêki sira sang titir anganumata. 4 d. Namun Sri Ranamanggala juga yang menjadi panutanku.

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Lengkapnya ialah:
Jawa Kuna Alih bahasa
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Berbeda-beda tetapi tetap satu,, tidak ada kebenaran yang mendua.

Petikan dari Kakawin Bharatayuddha dalam budaya Jawa Baru

Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
Kakawin ini digubah oleh dua orang, yaitu: Empu Sedah dan Empu Panuluh. Bagian permulaan sampai tampilnya prabu Salya ke medan perang adalah karya Empu Sedah, selanjutnya adalah karya Empu Panuluh.
Kakawin Bharatayuddha adalah salah satu dari beberapa dari karya sastra Jawa Kuna yang tetap dikenal pada masa Islam. Dalam pertunjukan wayang, beberapa bagian dari Bharatayuddha dinyanyikan sebagai bagian dari nyanyian suluk, bahkan juga dalam pertunjukan wayang yang bernafaskan Islam, misalkan cerita wayang Menak

Petikan dari Kakawin Arjunawiwāha

Dua lembaran lontar kakawin Arjunawiwāha.
Kakawin Arjunawiwāha (Jawa: ꦏꦏꦮꦶꦤ꧀​ꦄꦂꦗꦸꦤꦮꦶꦮꦲ) adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Empu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Manggala
Kakawin Arjunawiwaha memiliki sebuah manggala. Berikut adalah manggala beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Manggala Terjemahan
1. Ambek sang paramārthapaṇḍita huwus limpad sakèng śūnyatā, Batin sang tahu Hakikat Tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati Kehampaan[3],
Tan sangkèng wiṣaya prayojñananira lwir sanggrahèng lokika, Bukanlah terdorong nafsu indria tujuannya, seolah-olah saja menyambut yang duniawi,
Siddhāning yaśawīrya donira sukhāning rāt kininkinira, Sempurnanya jasa dan kebajikan tujuannya. Kebahagiaan alam semesta diperihatinkannya.
santoṣâheletan kelir sira sakèng sang hyang Jagatkāraṇa. Damai bahagia, selagi tersekat layar pewayangan dia dari Sang Penjadi Dunia.
2. Us.n.is.angkwi lebûni pâdukanirâ sang hyang Jagatkâran.a Hiasan kepalaku merupakan debu pada alas kaki beliau Sang Hyang Penjadi Dunia
Manggeh manggalaning miket kawijayan sang Pârtha ring kahyangan Terdapatkan pada manggala dalam menggubahkan kemenangan sang Arjuna di kahyangan

Prasasti Nusantara

Prasasti Ngadoman ditemukan di desa Ngadoman, dekat Salatiga, Jawa Tengah.
Prasasti Nusantara adalah prasasti yang berasal dari wilayah Nusantara. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam aksara serta bahasa-bahasa asli Nusantara dan bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Sanskerta. Di bawah ini disajikan daftar seleksi beberapa prasasti Nusantara Jawa yang penting atau menarik. Semua tahun yang disebut di bawah ini adalah tahun Masehi.
Prasasti-prasasti berikut berbahasa Jawa, baik Jawa Kuna (Kawi) maupun Baru.

Bentuk tingkat tutur bahasa Jawa

Menurut bentuknya, secara garis besar tingkat tutur bahasa Jawa dibagi menjadi 5 tingkatan,
  1. basa ngoko,
  2. basa madya,
  3. basa krama,
  4. basa kedaton atau bagongan, dan
  5. basa kasar.
Kelima tingkat tutur tersebut secara rinci semuanya dibagi menjadi 13 tingkat, yaitu:
  1. ngoko lugu,
  2. ngoko andhap antya basa,
  3. ngoko andhap basa antya,
  4. madyo ngoko,
  5. madyatara,
  6. madyakrama,
  7. mudokrama,
  8. kramantara,
  9. wredakrama,
  10. krama inggil
  11. krama deso,
  12. basa kedaton atau bagongan, dan
  13. basa kasar.

Makna tingkat tutur

Sebetulnya bila diringkas bahasa Jawa sehari-hari ada 3 tataran,
  1. Krama (halus),
  2. Madya (biasa),
  3. Ngoko (pergaulan), atau basa kasar.

Register (undhak-undhuk basa)

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
  1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
  5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
  6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
  7. Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
  8. Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko (kasar) dan sejenis madya (biasa).

Ngoko

! Artikel utama untuk kategori ini adalah Ngoko.
Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya dihindari untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua.
Tingkat tutur ngoko yaitu ungah ungguh bahasa jawa yang berintikan leksikon ngoko. Ciri-ciri katanya terdapat afiks di-,-e dan –ake. Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).

Krama

! Artikel utama untuk kategori ini adalah Krama.
Krama adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya sangat baik untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua.
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai tiga bentuk varian, yaitu krama lugu, karma andhap dan krama alus (Sasangka 2004:104).

Madya

Madya adalah salah satu tingkatan bahasa Jawa yang paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Tingkatan ini merupakan bahasa campuran antara ngoko dan krama, bahkan kadang dipengaruhi dengan bahasa Indonesia. Bahasa madya ini mudah dipahami dan dimengerti.

Variasi

Bahasa Jawa sangat beragam, dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik karena dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dialek geografi, dialek temporal serta register dalam bahasa Jawa sangat kaya sehingga seringkali menyulitkan orang yang mempelajarinya.

Dialek geografi

Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) [5]. Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda.[butuh rujukan]
Kelompok Barat
  1. dialek Banten
  2. dialek Cirebon. Menurut hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode Guiter, bahasa Cirebonan memiliki perbedaan sekitar 75% dengan bahasa Jawa Yogyakarta / Surakarta.[6]
  3. dialek Tegal
  4. dialek Banyumasan
  5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok Tengah
  1. dialek Pekalongan
  2. dialek Kedu
  3. dialek Bagelen
  4. dialek Semarang
  5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
  6. dialek Blora
  7. dialek Mataram (dialek Surakarta dan dialek Yogyakarta)
  8. dialek Madiun
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur
  1. dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
  2. dialek Surabaya
  3. dialek Malang
  4. dialek Jombang
  5. dialek Tengger
  6. dialek Banyuwangi
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).
Selain dialek-dialek di tanah asal, dikenal pula dialek-dialek yang dituturkan oleh orang Jawa diaspora, seperti di Sumatera Utara, Lampung, Suriname, Kaledonia Baru, dan Curaçao.

Dialek temporal

Berdasarkan dokumentasi tertulis, bahasa Jawa paling tidak memiliki dua variasi temporal, yaitu bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Modern. Bahasa Jawa Kuna sering kali disamakan sebagai bahasa Kawi, meskipun sebenarnya bahasa Kawi lebih merupakan genre bahasa susastra yang diturunkan dari bahasa Jawa Kuna.
Bahasa Jawa Kuna dikenal dari berbagai prasasti serta berbagai "kakawin" yang berasal dari periode Medang atau Mataram Hindu sampai surutnya pengaruh Majapahit (abad ke-8 sampai abad ke-15).
Bahasa Jawa Modern adalah bahasa dikenal dari literatur semenjak periode Kesultanan Demak (abad ke-16) sampai sekarang. Ciri yang paling khas adalah masuknya kata-kata dari bahasa Arab, Portugis, Belanda, dan juga Inggris.

Pranatacara

MC Jawa.jpg
Pranatacara atau sering disebut pambyawara, pranata adicara, pranata titilaksana atau pranata laksitaning adicara adalah salah satu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan suatu pertemuan atau acara dalam masyarakat Jawa. Pranatacara dalam bahasa Indonesia disebut pewara. Pranatacara merupakan pembawa acara dalam upacara adat Jawa seperti pernikahan (temanten), kematian (kesripahan), pertemuan (pepanggihan), perjamuan (pasamuan), pengajian (pengaosan), pentas, dan sebagainya.
Pranatacara merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus karena orang yang melakukan pekerjaan tersebut biasanya memahami dengan benar susunan suatu acara dengan menggunakan bahasa Jawa krama Inggil. Pranatacara lebih sering dihubungkan dengan upacara adat pengantin Jawa.

Wayang Kulit

Pagelaran wayang kulit oleh dalang terkemuka di Indonesia, Ki Manteb Sudharsono.
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

Dalang

Dalang adalah pemimpin, pengarah, sutradara dan dirijen dari suatu pertunjukkan wayang. Kecuali pertunjukkan Wayang Orang dan Wayang Topeng, Dalang harus memainkan seluruh gerak peraga tokoh wayang yang dimainkannya. Ia juga member ipengarahan pada para penabuh gamelan, pesinden dan wiraswara. Pengarahan itu dilakukan dengan berbagai isyarat yang dipahami oleh anak buahnya.
Dalam pelajaran pedalangan Wayang Kulit Purwa ada delapan pasyarat yang harus dimiliki oleh seorang dalang, yakni :
  1. Parama Sastra, seorang dalang harus kaya akan perbendaharaan kata, ahli dalam tata bahasa, terutama bahasa lisan.
  2. Parameng Kawi, seorang dalang harus memahami arti kata-kata dan istilah bahasa Kawi dan bahasa Jawa Kuno.
  3. Mardi Basa, Dalang yang baik harus pandai memainkan atau mengolah kata-kata yang digunakan, sehingga penceritaannya lebih meikat perhatian penonton, lebih dapat membawakan suasana cerita.
  4. Mardawa lagu, artinya dalang harus menguasai berbagai tembang, gending dan seni karawitan.
  5. Mandra Guna, seorang dalang harus menguasai berbagai keterampilan dalam seni pedalangan. Ada juga yang mengartikan dalang yang harus memiliki kelebihan batiniah dan sugesti diri yang kuat, sehingga dapat menguasai dan mengendalikan emosi penonton.
  6. Hawicarita, Dalang harus seorang yang mempunyai kemampuan bercerita, kemahiran untuk membawakan cerita secara runtut dan memikat. Tidak ada bagian cerita yang terlupa.
  7. Nawung Krida, dalang harus mengerti dasar-dasar ilmu psikologi, memahami karakter semua tokoh wayang dan kaitannya dengan karakter manusia.
  8. Sambegana, dalang harus mempunyai ingatan kua terhadap semua lakon wayang dan tahu benar urutan scenario ceritanya.

Ketoprak

Pementasan Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap.
Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggah- ungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
  • Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
  • Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
  • Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
Adapun ciri khas dari ketoprak ini dilakukan dengan dialog bahasa Jawa. Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Banyak pula diambil cerita dari luar negeri. Tetapi tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar cerita epos (wiracarita): Ramayana dan Mahabharata. Sebab nanti pertunjukkan bukan ketoprak lagi melainkan menjadi pertunjukan wayang orang.
Kesenian yang dalam penyajian atau pementasannya menggunakan bahasa Jawa ini memiliki cerita yang beragam dan menarik. Mirip dengan teater, pertunjukan ini diisi dengan dialog-dialog yang membawa penonton merasakan atmosfir “dunia” Jawa pada masa Raja-Raja berkuasa.

Wayang orang

Pandawa dan Kresna dalam suatu adegan pagelaran wayang wong.
Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.
Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri.
Sedangkan wujud pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.
Pada dasarnya, cerita atau peran yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang orang tidak berbeda dengan wayang kulit. Biasanya lakon yang dibawakan adalah lakon dalam cerita epik seperti Mahabrata dan Ramayana. Bedanya jika dalam wayang kulit peran itu ditampilkan dalam sosok wayang, maka dalam wayang orang lakon atau peran semacam itu dibawakan oleh orang atau wong dalam bahasa jawa.
Tugas dalang wayang wong tidak jauh berbeda dengan dalang wayang kulit. Namun tugas dayang wong lebih ringan karena para pelakon melakukan percakapan sendiri. Dalang wayang wong hanya menyampaikan sedikit narasi baik ketika membuka pertunjukan, di tengah pertunjukan atau di akhir pertunjukan.
Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerakgerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.

Ludruk

Kartolo, salah seorang pemain ludruk terkenal.
Tari Remo, diperagakan sebagai pembuka pementasan Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.
Kesenian ludruk ini sendiri sebenarnya adalah sebuah pertunjukan drama tradisional yang pada awalnya ada di Jawa Timur dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Ludruk hanya ditampilkan di dalam sebuah panggung oleh grup kesenian ludruk sendiri.
Cerita yang dijadikan tema di dalam pementasan ludruk ini adalah cerita mengenai kehidupan rakyat dan keseharian mereka. Ada pula tema tentang perjuangan kehidupan. Yang menjadi ciri khas dalam pertunjukan ludruk ini adalah mengeksploitasi tentang humor yang dalam bahasa jawa dikenal dengan guyonan dan lawakan.
Karena cerita yang dibawakan merupakan cerita sehari-hari, yang dekat dengan kehidupan masyarakat, ludruk pun digemari oleh semua kalangan masyarakat. Selain itu, walau menggunakan bahasa Jawa Timur, guyonan yang dilontarkan para pemain ludruk pun dapat dimengerti oleh orang dari luar Jawa Timur. Ini dikarenakan para pemain tidak hanya mengandalkan guyonan dalam bentuk perbincangan, tapi juga dalam gerak.

Primbon Jawa

Primbon adalah pengetahuan Jawa yang berusia ratusan tahun, dan kini masih lazim digunakan dalam masyarakat Jawa. Primbon merupakan sistem perhitungan atau ramalan berkaitan dengan aktivitas orang Jawa. Primbon sedikitnya membicarakan tentang perhitungan berkaitan dengan baik buruknya waktu kegiatan (upacara perkawinan, mendirikan rumah, menempati rumah, dan sebagainya), ramalan watak manusia dan hewan berdasarkan ciri-ciri fisiknya, ramalan yang bersifat gaib (misal, mimpi dan kedutan), serta perhitungan mengenai tempat tinggal.
Inti pesan dari primbon adalah agar kita senantiasa bersikap peka dan waspada.

Gugon tuhon

Gugon tuhon berada di tengah masyarakat Jawa disebut pepali atau larangan atau pamali atau pantangan. Gugon tuhon ini tergolong kepercayaan yang sudah ada dari jaman dahulu.
Gugon tuhon adalah solusi terpercaya untuk beberapa masalah atau yang tidak ditemukan dalam akal sehat. Terhadap dengan beberapa orang-orang yang selalu rasa merasa sedih bahwa dia tidak bisa mempersiapkn atau mengantisipasi sesuatu yang dianggap berbahaya di kemudian hari.
Pantangan adalah hal yang dilarang untuk dilakukan karena akan mengakibatkan sesuatu buruk akan terjadi. Biasanya pantangan ini hanya terjadi pada orang Indonesia terutama orang Jawa yang banyak mempercayai hal-hal yang ghaib. Namun pantangan yang disebutkan ini merupakan pantangan yang unik dan aneh dan hanya dilakukan oleh orang Indonesia yang mempengaruhinya.
“Gugon tuhon” adalah mengikuti dengan setia dan “tanpa reserve”, pokoknya ikut. Pada umumnya nasihat dalam “gugon tuhon” bersifat “wewaler” atau larangan. Rumusnya adalah: “Jangan melakukan .... nanti akan ..... “.
Wewaler untuk makanan bisa baik bisa buruk pengaruhnya. Kalau anak dilarang makanan yang justru zat bergizi, akan berpengaruh buruk untuk tumbuh-kembangnya. Sebaliknya andaikan ada gugon tuhon bahwa orang darah tinggi dilarang merokok, akan bagus untuk membantu menurunkan tekanan darahnya. Sayang tidak ada gugon tuhon yang seperti itu.
Gugon tuhon ada yang menyembunyikan nasihat sayangnya tidak diberi penjelasan. Umumnya terkait dengan perilaku manusia. Gugon tuhon ini sebenarnya baik. Hanya saja di jaman modern ini semestinya dijelaskan reasoningnya apa. Jangan sekedar “ora ilok” atau akan ditelan buaya, dan sebagainya.
Ada gugon tuhon terhadap terjadinya suatu penyakit. Misalnya suatu penyakit dikatakan akibat kutukan, padahal sebenarnya penyakit menular. Dengan penemuan “mikroskop” banyak yang dapat diluruskan, misalnya penyebab kolera yang dikatakan “lelembut” atau penyebab kusta dan TB Paru yang dikatakan sebagai kutukan. Ada pula gugon tuhon untuk tempat-tempat yang dianggap keramat, karena dipercaya orang banyak, kita pun jadi takut.

Mantra jawa

Mantra adalah perkataan atau ucapan yang mampu untuk mendatangkan daya gaib, menyembuhkan, mendatangkan celaka dan sebagainya. Susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib ini biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Mantra juga dapat disamakan dengan doa.
Dalam tradisi Jawa, mantra disebut pula dengan japa, japa mantra, kemad, peled, aji-aji, rajah, donga, sidikara yang semuanya dianggap mempunya daya kekuatan gaib. Mantra jika dibaca dengan bersuara disebut di-mel-kan dan kalau hanya dibaca dalam hati disebut matek mantra atau matek aji.
Wujud mantra ada beberapa macam di antaranya: (1) Mantra dalam wujud kata-kata/puisi lisan yang dibaca dalam batin disebut japa mantra, aji-aji dan rapal. (2). Mantra dalam wujud tulisan misalnya tertulis pada kain, kertas, kulit disebut rajah. (3). Mantra yang ditanam pada benda disebut jimat, aji-aji. [2]

Pegon

Huruf Pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa juga Bahasa Sunda. Kata Pegon konon berasal dari bahasa Jawa pégo yang berarti menyimpang. Sebab bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim.
Berbeda dengan huruf Jawi, yang ditulis gundul, pegon hampir selalu dibubuhi tanda vokal. Jika tidak, maka tidak disebut pegon lagi melainkan Gundhil. Bahasa Jawa memiliki kosakata vokal (aksara swara) yang lebih banyak daripada bahasa Melayu sehingga vokal perlu ditulis untuk menghindari kerancuan.

Abjad Jawi

Abjad Jawi (Bahasa Arab: جوي Jăwi) (atau Yawi di daerah Patani, Gundhil di daerah Jawa disamping Pegon, Jawoe di daerah Aceh) adalah abjad Arab yang diubah untuk menuliskan Bahasa Melayu. Abjad ini digunakan sebagai salah satu dari tulisan resmi di Brunei, dan juga di Malaysia, Indonesia, Patani dan Singapura untuk keperluan religius.
Kemunculannya berkait secara langsung dengan kedatangan agama Islam ke Nusantara. Abjad ini didasarkan pada abjad Arab dan digunakan untuk menuliskan ucapan Melayu. Dengan demikian, tidak terhindarkan adanya tambahan atau modifikasi beberapa huruf untuk mengakomodasi bunyi yang tidak ada dalam bahasa Arab (misalnya ucapan /o/, /p/, atau /ŋ/).
Bukti terawal tulisan Jawi ini berada di Malaysia dengan adanya Prasasti Terengganu yang bertarikh 702 Hijriah atau abad ke-14 Masehi (Tarikh ini agak problematis sebab bilangan tahun ini ditulis, tidak dengan angka). Di sini hanya bisa terbaca tujuh ratus dua: 702H. Tetapi kata dua ini bisa diikuti dengan kata lain: (20 sampai 29) atau -lapan -> dualapan -> "delapan". Kata ini bisa pula diikuti dengan kata "sembilan". Dengan ini kemungkinan tarikh ini menjadi banyak: (702, 720 - 729, atau 780 - 789 H). Tetapi karena prasasti ini juga menyebut bahwa tahun ini adalah "Tahun Kepiting" maka hanya ada dua kemungkinan yang tersisa: yaitu tahun 1326M atau 1386M.

Bahasa Jawa Suriname

Bahasa Jawa Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname dan oleh komunitas Jawa Suriname di Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari Tanah Jawa dan sekitarnya.
Di Suriname Orang Indonesia tersebar dibeberapa tempat dan kampung yang gampang dikenali karena Kampung mereka masih menggunakan nama-nama dalam bahasa Indonesia seperti Desa Tamansari, Desa Tamanrejo dan semacam itu. Untuk mengingat akan Tanah airnya Indonesia selain dengan menggunakan nama Pemukiman mereka dengan Bahasa Indonesia, bahasa yang digunakanpun adalah Bahasa Jawa.
Pada Tahun 1990 sekitar 34,2% Penduduk Suriname atau 143.640 Orang keturunan asal Indonesia ( etnis jawa ) dan merupakan salah satu etnis terbesar di Suriname saat itu. Namun seiring dengan perkembangan jaman banyak diantara mereka yang pindah mengikuti keluarga dan bermukim di Belanda. Anehnya walau mereka pada umumnya belum pernah melihat Indonesia, mereka sangat fasih dalam berbahasa Jawa yang digunakan sehar-hari dalam pergaulan antara sesama etnis Jawa. Bukan di Suraname saja bahasa Jawa digunakan oleh masyarakat yang berasal dari Indonesia tapi juga di Belanda. Bahkan dari sebuah catatan menyebutkan kurang lebih 65 ribu orang Warga Negara Suriname etnis Jawa dan 30 puluh ribu orang Warga Negara Belanda etnis Jawa menggunakan Bahasa Jawa dalam bersosialisasi dengan sesama mereka dalam pergaulan sosial ditengah-tengah masyarakatnya.
Mungkin ada beberapa dialek yang kurang pas kedengarannya di telinga kita, itu disebabkan oleh pengaruh bahasa Belanda dan Bahasa Tongo, namun hanya pada dialek saja yang nampak lucu namun akan dapat dimengerti dengan baik oleh Orang Indonesia bila mendengarnya. Fonologi bahasa Jawa Suriname menggunaan dialek Kedu yang menjadi bahasa induk Warga Negara Suriname asal Indonesia yang tentunya tak jauh berbeda dengan Bahasa Jawa yang baku.

Dialek bahasa Jawa di Suriname

Di Suriname hanya terdapat satu dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa di masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang berbeda. Di Suriname juga pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan.

Pengaruh bahasa lain

Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Meskipun demikian, kedua bahasa tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata bahasa. Akan tetapi orang Jawa di Suriname tidak bisa berbahasa Indonesia karena sejak Belanda mendatangkan orang jawa untuk menjadi kuli kontrak , ketika itu orang asli Jawa dahulu hanya bisa berbahasa jawa saja. Kata-kata Sranan Tongo yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.

Fonologi

Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa. Fonologi Dialek Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku. Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni perbedaan antara fonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.

Ejaan

Namun, bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bahasa krama dalam bahasa Jawa Suriname

Dalam bahasa Jawa Suriname, terdapat juga basa krama (bahasa halus), namun tak lagi serupa dengan bahasa Jawa di Jawa. Bahkan generasi mudanya sudah banyak yang tak bisa menuturkan basa krama. Terdapat 3 ragam bahasa Jawa di Suriname, yakni ngoko, krama dan krama napis. Krama di Jawa adalah madya dan krama napis adalah krama dan krama inggil.

Kursus Bahasa Jawa di Suriname

Sejak tahun 2000 di buka kursus bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk warga Suriname. Bertempat di KBRI Paramaribo, Pesertanya memang tidak banyak dan masih didominasi orang tua. Agar kemampuan berbahasa yang diperoleh dari kursus tidak hilang begitu saja, dibentuk Ikatan Alumni Kursus Bahasa Jawa (IKA-KBJ) dan Ikatan Alumni Kursus Bahasa Indonesia (IKA-KBI). Secara berkala, alumni berkumpul untuk berbicara dalam bahasa Jawa dan Indonesia.
Dari kursus itulah mereka menguasai bahasa Indonesia serta mengerti tata bahasa Jawa sesuai yang berlaku di tempat asalnya. Selama ini penggunakan ejaan Belanda untuk menulis kosa kata bahasa Jawa marak digunakan oleh masyarakat suku jawa di Suriname. Kemampuan berbahasa Jawa dan Indonesia itu penting bagi warga keturunan Jawa di Suriname. Meski bukan berkebangsaan Indonesia, mereka tetaplah manusia Jawa. "Manusia Jawa itu punya identitas, salah satunya bahasa Jawa. Maka agar tidak kehilangan identitas, mereka harus menguasai bahasa Jawa."

Bahasa Jawa gaul

Sering kita mendengarkan percakapan dikalangan anak muda Yogyakarta yang menggunakan bahasa jawa yang tidak formal. Tren penggunaan bahasa Jawa seperti itu sudah lama muncul, sebagai tren khusus bahasa anak muda Yogyakarta atau bahasa gaul anak muda Yogyakarta. Kadang masyarakat Jogja sendiri banyak yang tidak mengenal bahasa tersebut.
Contoh:
Basa Jawa gaul Bahasa Jawa sebenarnya Bahasa Indonesia
jape Cahe (bocahe) Teman
Panyu Aku Saya
Dab Mas Kakak laki-laki

Bilangan dalam bahasa Jawa

Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa memiliki sistem bilangan yang agak rumit.
Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kuna sa rwa telu pat lima enem pitu walu sanga sapuluh
Kawi eka dwi tri catur panca sad sapta asta nawa dasa
Krama setunggal kalih tiga sekawan gangsal enem pitu wolu sanga sedasa
Ngoko siji loro telu papat lima enem pitu wolu sanga sepuluh

Fraksi

  • 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
  • 1/4 seprapat, seprasekawan (Krama)
  • 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
  • 1,5 siji setengah, setunggal kalih tengah (Krama)

Bahasa pemrograman Java

Bahasa Jawa adalah bahasa yang berasal dari Jawa. Sedangkan. Bahasa Java adalah bahasa yang digunakan untuk membuat program dan merupakan salah satu jenis dari Bahasa Pemrograman tingkat tinggi atau High Level Language.
Java dikembangkan pada tahun 1990 oleh insinyur Sun, James Gosling sebagai bahasa pemrograman yang berperan sebagai otak untuk peralatan pintar (TV interaktif, oven serba bisa). Gosling tidak puas dengan hasil yang ia peroleh ketika menulis program dengan C++, bahasa pemrograman lain, sehingga ia mengasingkan diri di kantornya dan menulis bahasa pemrograman baru agar lebih sesuai dengan kebutuhannya.
Gosling menamakan bahasa pemograman barunya Oak, nama sebuah pohon yang bisa ia lihat dari jendela kantornya; ia kemudian menamainya Green, dan kemudian mengganti namanya menjadi Java, berasal dari kopi Jawa (Java Coffee) , yang katanya banyak dikonsumsi dalam jumlah besar oleh pencipta bahasa ini. Bahasa pemograman ini kemudian menjadi bagian dari strategi Sun untuk menghasilkan uang jutaan dolar ketika TV interaktif menjadi industri bernilai jutaan dolar. Hal itu memang masih belum terjadi hari ini, tetapi sesuatu yang benar-benar berbeda kemudian terjadi pada bahasa pemograman baru Gosling itu.
Secara kebetulan World Wide Web menjadi begitu populer, banyak kelebihan yang membuat bahasa Gosling dapat digunakan dengan baik dan cocok pada proyek maupun alat untuk adaptasi ke Web. Pengembang Sun merancang cara bagi program yang akan berjalan dengan aman dari halaman web dan memilih nama baru yang menarik untuk menemani fokus baru bahasa itu, yakni Java.
Walaupun Java dapat digunakan untuk banyak hal, Web menyediakan tampilan yang dibutuhkan untuk menarik perhatian internasional. Seorang programmer yang menempatkan program Java pada halaman web dapat langsung diakses ke seluruh planet "Web-surfing". Karena Java adalah teknologi pertama yang bisa menawarkan kemampuan ini, Java kemudian menjadi bahasa pemrograman komputer pertama yang menerima perlakuan bagai bintang di media.
Java adalah bahasa pemrograman untuk berbagai tujuan (general purpose), bahasa pemrogramn yang concurrent, berbasis kelas, dan berorientasi objek, yang dirancang secara khusus untuk memiliki sesedikit mungkin ketergantungan dalam penerapannya. Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan pengembang aplikasi "write once, run anywhere" (WORA), yang berarti bahwa kode yang dijalankan pada satu platform tidak perlu dikompilasi ulang untuk di tempat lain. Java saat ini menjadi salah satu bahasa pemrograman yang paling populer digunakan, terutama untuk aplikasi web client-server, dengan 10 juta pengguna.

Hanacaraka v.1.0

Aplikasi Hanacaraka v.1.0 adalah aplikasi untuk menerjemah aksara latin ke aksara jawa dan juga sebaliknya. Aplikasi yang dapat membantu auntuk mengembangkan budaya Jawa melalui aksara Jawa.

Mongosilakan.net

LogoMongosilakan.net
Mongosilakan.net merupakan layanan terjemahan daring bahasa Indonesia ke basa Jawa dan sebaliknya dengan unggah-ungguh basa Jawa.
Bahasa yang didukung:
  • Indonesia
  • Ngoko
  • Krama
  • Krama Inggil

Bahasa Jawa di Google Translate

Google Translate dengan pilihan bahasa Jawa.
Google Translate merupakan aplikasi daring untuk urusan penerjemahan bahasa. Hasil terjemahan memang kadang tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia sehingga kalau diterjemahkan apa adanya justru lebih sulit dipahami daripada bahasa aslinya (bahasa Inggris). Beberapa sumber menyebutkan update itu mulai 9 Mei 2013. Dengan masuknya Bahasa Jawa, berarti Google Translate sudah mendukung lebih dari 70 bahasa di dunia, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah.
Sistem penerjemahan bahasa Jawa di Google Translate ini masih berstatus "Alpha" atau masih dalam proses pengembagan, sehingga hasil terjemahan mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Metro Duos GT-C3322

Metro Duos GT-C3322 dengan bahasa Jawa.
Metro Duos GT-C3322 menyediakan pilihan bahasa Jawa di menu konfigurasi ponsel. Samsung pun ternyata cukup serius dengan opsi bahasa yang terbilang jarang ditemukan di produk ponsel ini. Semua menu berhasil diterjemahkan dalam bahasa Jawa yang “baik dan benar”.

Buku-buku agama Islam dalam bahasa Jawa

KH Muhammad Saleh Darat adalah orang pertama yang mempelopori penulisan buku-buku dalam agama dalam bahasa jawa. Karya-karyanya di tulis dengan huruf Arab gundul (pegong) di era akhir tahun 1800-an. Al-Quran pun ia terjemahkan dengan huruf itu. Kitab Faid ar-Rahman merupakan kitab tafsir pertama di Nusantara yang di tulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Satu eksemplar buku terjemahan itu di hadiahkan pada RA Kartini ketika ia menikah dengan RM Joyodiningrat, bupati Rembang.

Naskah Terjemahan Al-Qur’an Pegon koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta

Naskah ini ditulis sebagai bahan ajar di Madrasah Manba’ul Ulum—pesantren yang pendiriannya didukung penuh oleh pihak keraton, di bawah kekuasaan Sri Susuhunan Pakubuwono IX (1861-1893). Jenis bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko dan model terjemahan tafsīriyyah-ma‘nawiyyah. Secara historis, naskah ini menjadi salah satu bukti tentang hubungan yang intens antara Islam dan keraton di Surakarta serta peran keraton dalam proses pendidikan dan pengembangan Islam pada akhir abad ke-19 M. Pada sisi lain, naskah ini ikut memperkaya keilmuan pesantren yang selama ini lebih dikenal dengan tradisi keilmuan fikih dan tasawuf.

Audio Digital Al Quran Terjemah Dalam Bahasa Jawa Dan Sunda

Digital Al QuranAl Hira Technologi dan bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan Ilmu Al Quran (LPIQ) MUI Propinsi Jawa Barat selaku pemegang Hak Cipta untuk Program Terjemah Al-Qur’an Sistem 40 telah mengembangkan Digital Al Quran selain terjemahan Bahasa Indonesia juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Sunda. Tidak menutup kemungkinan jika permintaan Digatal Al Quran dapat diterjemahkan dalam bahasa suku yang lain selain Bahasa Indonesia. Digital Al Quran tersebut diberi nama Digital Al Quran tersebut adalah Al Mubarak.

Tafsir al-Qur'an al-Aziz Tafsir Berbahasa Jawa Karya KH Bisri Musthofa

Satu dari beberapa karya tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa yang cukup fenomenal, adalah al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz karya KH Bisri Musthofa, seorang ulama kharismatis dan ‘materialistis’ asal Rembang Jawa Tengah. Karya tafsir ini memuat penafsiran ayat secara lengkap, 30 juz, mulai dari Surah al-Fatihah hingga Surah al-Nas.
Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karya tafsir Kiai Bisri ini sama sekali tidak asing. Karya ini lumrah dikaji dan diaji oleh para santri, dari sejak kemunculannya hingga kini. Seperti dituturkan penulisnya, karya ini, antara lain, memang ditujukan untuk para santri pesantren. Sehingga tidak aneh jika karya ini dikenal sangat luas di kalangan pesantren dan tidak di luar pesantren. Dan dengan penggunaan bahasa Jawa yang sangat kental, karya ini menjadi kian akrab dengan suasana pesantren di Jawa.

Kuran Jawi

Museum Radya Pustaka Surakarta, Jawa Tengah menyimpan peninggalan benda-benda kuno milik Raja Keraton Surakarta. Bahkan, museum ini juga menyimpan koleksi karya sastra terjemahan Alquran dalam bentuk aksara Jawa lengkap dengan tutur bahasa Jawa.
Karya sastra yang diberi nama "Kuran Jawi" ini dibuat periode 1835 tahun alit. Lantaran lama tersimpan, maka kondisi kertas dari buku ini pun menguning kecokelatan. Saat ini buku dengan tebal kurang lebih 10 centimeter itu sudah banyak yang terlepas dari sampul jilidnya. Bahkan saat membuka lembaran buku pun harus hati-hati dengan bantuan petugas museum.
Kuran Jawi ini dipecah dalam 3 buah buku yang berjumlah 30 juz. Untuk nama-nama surah tetap menggunakan nama bahasa Arab. Tetapi untuk tulisannya menggunakan aksara Jawa. Untuk membacanya juga sebagaimana membaca aksara Jawa mulai dari kiri.
Tiga buah Alquran ini dibuat oleh abdi dalem Keraton Surakarta. Mereka adalah Bagus Ngarpah sebagai penerjemah ke bahasa Jawa, Mas Ngabehi Wiro Pustoko, serta Ki Rono Suboyo sebagai penyelaras dan penulis ke dalam tulisan Jawa.

Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah

Negara Indonesia selain memiliki satu bahasa nasional, bahasa Indonesia, juga memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Beberapa bahasa daerah dengan populasi penutur yang tinggi telah memiliki Alkitab dalam versi bahasa daerah tersebut, termasuk Alkitab dalam bahasa Jawa telah diterbitkan oleh LAI.
Kitab suci terjemahan resmi LAI dalam bahasa Jawa itu ada dua versi. Versi bahasa Jawa sehari-hari ini kira-kira sama dengan Alkitab Kabar Baik, yang memang lebih sederhana kata-katanya dan versi Terjemahan Baru bahasa Indonesia, 1974 yang digunakan di hampir semua gereja di Indonesia saat ini.
Saat ini terdapat proyek yang sedang berjalan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah lainnya. Hal ini juga berguna untuk melestarikan bahasa daerah. Salah satu organisasi yang berusaha menerjemahkan Alkitab ke bahasa-bahasa daerah Indonesia adalah Wycliffe Bible Translator.

Sejarah

Penggunaan bahasa Jawa masa kini

Demografi pemakai bahasa Jawa di Indonesia

[7]

Provinsi di Indonesian  % dari populasi provinsi Berbahasa Jawa (1980)
1. Aceh 6,7% 175.000
2. Sumatra Utara 21,0% 1.757.000
3. Sumatra Barat 1% 56.000
4. Jambi 17% 245.000
5. Sumatra Selatan 12,4% 573.000
6. Bengkulu 15,4% 118.000
7. Lampung 62,4% 2.886.000
8. Riau 8,5% 184.000
9. Jakarta 3,6% 236.000
10. Jawa Barat[8] 13,3% 3.652.000
11. Jawa Tengah 96,9% 24.579.000
12. Yogyakarta 97,6% 2.683.000
13. Jawa Timur 74,5% 21.720.000
14. Bali 1,1% 28.000
15. Kalimantan Barat 1,7% 41.000
16. Kalimantan Tengah 4% 38.000
17. Kalimantan Selatan 4,7% 97.000
18. Kalimantan Timur 10,1% 123.000
19. Sulawesi Utara 1% 20.000
20. Sulawesi Tengah 2,9% 37.000
21. Sulawesi Tenggara 3,6% 34.000
22. Maluku 1,1% 16.000

Referensi

  1. ^ "Language Documentation Training Center". Diakses 2013-09-25.
  2. ^ Herrfurth, Hans (1964). Lehrbuch des modernen Djawanisch. Lehrbücher für das Studium der orientalischen und afrikanischen Sprachen IX. Leipzig: VEB Verlag Enzyklopädie. hlm. 19.
  3. ^ Terjemahan berdasarkan buku Ignatius Kuntara Wiryamartana, Arjunawiwāha, (1990:124) dengan beberapa perubahan kecil
  4. ^ a b Intrik Berdarah Tak Jemu-jemu, artikel pada Kompas Online
  5. ^ Uhlenbeck, E.M. 1964.A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura. The Hague: Martinus Nijhoff
  6. ^ Menimbang-nimbang bahasa Cirebon
  7. ^ The data are taken from the census of 1980 as provided by James J. Fox and Peter Gardiner and published by S. A. Wurm and Shiro Hattori, eds. 1983. Language Atlas of the Pacific Area, Part II: (Insular South-East Asia), Canberra.
  8. ^ In 1980 this included the now separate Banten province.